Selasa, 21 Januari 2014



pengertian penyelenggara negara, pegawai negara/pegawai negeri, dan pejabat negara.
Pengertian penyelenggara Negara dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU 28/1999”), yang menyatakan sebagai berikut:
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, di dalam Pasal 2 UU 28/1999 dijelaskan siapa saja yang termasuk penyelenggara negara, yaitu
1.    Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2.    Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3.    Menteri;
4.    Gubernur;
5.    Hakim;
6.    Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7.    Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan ini, anggota dewan komisaris atau direksi dari anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) tidak termasuk sebagai penyelenggara Negara.

Kemudian, pengertian pegawai negeri dan pejabat negara diatur dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU 43/1999”):

-      Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 1)
-      Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang (Pasal 1 angka 4).

Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (1) UU 43/1999 dijelaskan bahwa pegawai negeri terdiri dari:
a.    Pegawai Negeri Sipil;
b.    Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c.    Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sedangkan, siapa saja yang termasuk pejabat negara dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1), yaitu:
a.    Presiden dan Wakil Presiden;
b.    Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d.    Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e.    Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f.     Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
g.    Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;
h.    Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i.     Gubernur dan Wakil Gubernur;
j.     Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota; dan
k.    Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, tidak disebutkan bahwa anggota dewan komisaris maupun direksi dari anak perusahaan BUMN merupakan penyelenggara negara, pejabat negara, maupun pegawai gegeri.

Kemudian, di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BUMN maupun anak perusahaan BUMN juga tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa anggota dewan komisaris maupun direksi dari anak perusahaan BUMN merupakan penyelenggara negara, pejabat negara, maupun pegawai negeri.

Perlu diketahui pula bahwa anak perusahaan BUMN bukan termasuk BUMN. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Anak perusahaan BUMN, sahamnya dimiliki oleh BUMN tersebut sebagai perusahaan induknya, dan bukan dimiliki secara langsung oleh Negara. Penjelasan selengkapnya simak artikel Status Hukum Anak Perusahaan BUMN.


Dasar hukum:

Senin, 20 Januari 2014



RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA
Pergeseran agenda Prolegnas 2010 yang memasukkan pembahasan RUU tentang Desa bisa jadi merupakan buah demonstrasi perangkat desa akhir Februari 2010 di depan gedung DPR, Jakarta. Ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara atau Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara saat itu mendesak percepatan pembahasan RUU tentang Desa yang semula masuk Prolegnas 2011. Demonstrasi ribuan perangkat desa sudah berlangsung beberapa kali sejak 2007. Namun, janji DPR ini perlu dikritisi, mengingat polemik pengaturan tentang desa belum sepenuhnya terselesaikan. Sebab, saat ini ada dua RUU terkait desa yang berbeda, tapi tidak bisa dipisahkan. Yaitu, RUU tentang Desa dan RUU tentang Pembangunan Pedesaan. RUU tentang Desa yang satu merupakan hasil penyusunan eksekutif (Kemendagri) yang digarap tiga tahun terakhir ini. Substansinya lebih banyak menyoroti kedudukan serta kewenangan desa dalam tata pemerintahan di Indonesia. Sementara itu, RUU tentang Pembangunan Pedesaan merupakan inisiatif DPR periode 2004-2009 yang belum dituntaskan. Salah satu substansinya adalah alokasi dana 20 persen dari APBN dan APBD yang masuk ke rekening desa. RUU Pembangunan Pedesaan tersendat karena ditolak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karena kontroversi alokasi dana APBN dan naskah RUU yang dianggap kurang komprehensif. Dalam draf RUU versi terakhir maupun draf usul versi Parade Nusantara dan Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia (ABPEDSI), alokasi dana APBN diusulkan menjadi 10 persen. Sementara itu, molornya penyusunan eksekutif disebabkan belum terbangunnya kesepahaman tentang posisi desa serta interface antara desa dan daerah di kalangan pembuat keputusan di Kemendagri. Ditjen Otda lebih menghendaki desa menjadi bagian dari pengaturan tentang pemerintahan daerah. Sementara itu, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) lebih memperjuangkan kewenangan desa agar lebih kuat secara ekonomi serta politik. Titik temunya, kedua pihak menyepakati kedudukan desa sebagai organisasi pemerintahan paling bawah dan terdekat dengan masyarakat dengan kewenangannya mencakup kewenangan asli dan kewenangan nyata. Langkah eksekutif itu memang terhitung lambat jika dibanding DPR. Tapi, keduanya masih bisa disinkronkan. UU Harus Komprehensif Kehadiran wacana regulasi tentang desa memang masih jelas jejaknya. Baik yang bermuara ke RUU tentang Desa maupun RUU tentang Pembangunan Pedesaan. Keduanya berasal dari hulu yang sama, yaitu tidak jelasnya pengaturan. Desa tidak diatur jelas dalam UUD 1945. Dalam beberapa periode, tidak ada peraturan perundangan yang benar-benar berpihak kepada desa, baik UU No 5 Tahun 1974, UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU No 22 Tahun 1999, maupun UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan, boleh jadi komitmen penyusunan UU terkait Desa itu hanya menjadi agenda sampingan revisi UU No 32/2004. UU tersebut hendak dipecah menjadi tiga. Yaitu, UU Pemerintahan Daerah, UU Pemilihan Kepala Daerah, dan UU Desa. Berkaitan dengan pemilu kepala daerah, telah berhasil ditelurkan UU No 12/2008 yang memberi kesempatan bagi calon perseorangan ikut andil dalam pemilu kepala daerah. Sementara itu, UU Desa sampai saat ini belum kelar. Persoalan pokok pembahasan regulasi tentang desa adalah substansi, aspek, prinsip, dan dimensi RUU sendiri. Banyak pihak berpendapat, pengaturan tentang desa harus komprehensif. Bukan sekadar persoalan pembangunan desa, kesejahteraan masyarakat desa, apalagi sekadar kesejahteraan perangkat desa yang muaranya sekadar pada alokasi dana 10 persen dari APBN untuk desa. Pengaturan tentang desa seharusnya mencakup aspek pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, serta kemasyarakatan. Penolakan DPD atas RUU inisiatif DPR periode sebelumnya memang cukup beralasan. Argumen yang disampaikan menyangkut kelayakan peraturan perundang-undangan tentang desa tidak boleh terfriksi menjadi beberapa UU terpisah. Misalnya, pengaturan terpisah tentang pembangunan pedesaan, pemerintahan desa, dam pengelolaan sumber daya alam desa. Hal itu penting, selain demi efisiensi penyusunnya, demi efektivitas implementasinya dengan menghindarkan kerancuan karena aturan yang tumpang-tindih. Pemerintah pun lewat Kemendagri menginginkan secara substansial RUU Desa mampu menjawab kebutuhan pengaturan desa secara holistis dan integral. Karena itu, pemerintah mengusulkan substansi pembentukan desa, perubahan status desa menjadi kelurahan, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, musyawarah desa, perencanaan pembangunan desa, keuangan desa, lembaga kemasyarakatan desa, kerjasama desa, serta pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa. Karena itu, harus ada keterpaduan RUU Pembangunan Pedesaan inisiatif DPR dan RUU Desa usul pemerintah. Seluruh aspek tentang desa harus diintegrasikan dalam sebuah formula UU tunggal yang komprehensif dan mengikuti perkembangan otonomi yang dinamis. Aspek historis, filosofis, konseptual, sosiologis, politis, dan yuridis harus disinkronkan secara terpadu. Selain sejumlah aspek dan substansi tersebut, aspek komprehensivitas regulasi juga meliputi dimensi sosial adat istiadat, dimensi kearifan dan kekhasan lokal, pelestarian lingkungan hidup, dimensi gender, kewilayahan, dan dimensi kelembagaan.

Rabu, 08 Januari 2014

Tahukah Anda

Merdeka.com - PT Angkasa Pura (AP) II membutuhkan anggaran sebesar Rp 9 triliun untuk meningkatkan kapasitas sepuluh bandara yang dikelolanya. Sebanyak Rp 6 triliun diantaranya bakal diperoleh dari pinjaman sindikasi tiga bank BUMN.
Sementara, sisanya sebesar Rp 3 triliun berasal dari kas internal. "Banknya nanti Mandiri, BRI, BNI," kata Direktur Utama Angkasa Pura II Tri Sunoko saat ditemui di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Rabu (8/1),
Sepanjang tahun lalu, sepuluh bandara yang dikelola BUMN penerbangan tersebut menderita kerugian. Kendati demikian, Tri mengaku tak khawatir, sebab kerugian disebabkan pengembangan infrastruktur bandara.
Dengan kata lain, kerugian akan hilang jika proses peningkatan kapasitas bandara rampung. "Sekarang rugi tapi aset kita nanti nambah, jadi tidak apa-apa," ujarnya.
Adapun sejumlah proyek yang sedang dijalankan AP II saat ini, antara lain, perluasan Bandara Pontianak. Kemudian, penguatan landasan pacu Halim Perdanakusuma, penyelesaian akhir terminal III Bandara Soekarno-Hatta.
Untuk yang terakhir, Tri mengaku akan memercepat prosesnya. Mengingat, sebagian besar pendapat AP II tergantung pada Soekarno-Hatta, bandara tersibuk di Tanah Air.
"Pendapatan kita itu bisa dibilang 80 persen dari Soekarno-Hatta."
Sepanjang tahun lalu, Angkasa Pura II meraup keuntungan bersih Rp 900 miliar. Dengan selesainya beberapa renovasi bandara, maka laba diperkirakan bisa meningkat menjadi Rp 1,2 triliun pada tahun ini.